Surabaya (pilar.id) – Gelaran Presidensi G20 berakhir sudah. Pertanyaan yang kemudian muncul, benarkah forum yang dihadiri sejumlah pemimpin negara dunia ini mampu membawa dampak signifikan untuk perkembangan kemajuan bersama?
Menanggapi hal ini, pakar hubungan internasional Universitas Airlangga Radityo Dharmaputra SHubInt MHubInt RCEES IntM MA memberi penjelasan.
Dikatakan, Indonesia selama ini dikenal sebagai negara berkembang. Uniknya, dengan predikat itu, Indonesia malah dipercaya sebagai tuan rumah G20.
Menurut Radityo, hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki potensi besar. Keberadaannya secara politik juga punya pengaruh yang cukup besar.
“G20 semacam kelompok negara elit, pihak dalam G20 yang kualifikasi dari banyak aspek negara mana yang berhak bergabung,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair ini.
Meski di sisi lain, masuknya Indonesia di kelompok elit ini juga terkesan mengorbankan beberapa hal yang terjadi di Indonesia. Semisal saat bicara anggaran G20 yang besar, sementara saat ini Indonesia masih sedang bangkit dari pandemi.
“Memang tergabungnya Indonesia di forum G20 menciptakan iklim investasi yang baik. Namun, dampak yang dirasa tidak langsung instan, menunggu proyeksi beberapa tahun ke depan,” kata Radityo.
G20, lanjutnya, fokus pada pembahasan isu ekonomi. Namun seperti diketahui, isu perang Rusia-Ukraina belum menunjukkan gejala damai, sehingga para anggota G20 sendiri akhirnya susah untuk mengupayakan.
![](https://www.pilar.id/wp-content/uploads/2022/11/img-pilar-364-300x300.jpg)
Radityo menilai, hal ini bersumber dari belum adanya kekuatan dan komitmen antar sekretariat untuk mengikat anggotanya. Sekadar catatan, Ukraina bukan anggota forum G20, melainkan diundang oleh Presiden RI Joko Widodo.
Meski pada akhirnya Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky belum bisa hadir karena kondisi negara yang masih diinvasi Rusia. Di sisi lain, Radityo juga menyoroti ketidakhadiran Presiden Rusia Vladimir Putin yang kemudian diwakili Perdana Menteri Rusia.
Kata Radityo, ketidakhadiran Putin pada forum ini sebetulnya tidak merugikan Indonesia. Sebaliknya, para peserta dalam forum tidak perlu merasa ‘tidak nyaman’. Perlu diingat, beberapa pemimpin negara yang hadir di G20 tidak sepakat pada kebijakan invasi Ukraina. Ini membuat pengaturan acara terasa lebih mudah karena tidak diwarnai potensi konflik.
Sehingga akhirnya, Presidensi G20 Indonesia sukses menghasilkan G20 Bali Leader’s Declaration pertama serta concrete deliverables yang berisi daftar proyek kerja sama negara anggota G20.
Namun, menurut Radityo, gagasan Jokowi mendamaikan Rusia-Ukraina masih belum tercapai, meski bukan masalah yang besar.
Tapi maraknya gelar Bapak Perdamaian Internasional yang ditujukan ke Jokowi, kata Radityo, terlalu berlebihan. “Sebab, Presiden Jokowi belum mencapai upaya tersebut,” alasannya.
Namun, di sisi lain Radityo mengaku tetap mengapresiasi Jokowi sebagai pemimpin Asia pertama yang berhasil mengunjungi Rusia dan Ukraina dan menunjukkan kepeduliannya terhadap isu kemanusiaan.
“Saya salah satu orang yang skeptis dari awal. Tidak mungkin perdamaian Rusia-Ukraina tercapai dari G20 saja,” aku Radityo. Ide Jokowi untuk menjadi jembatan perdamaian antara Rusia-Ukraina, tambahnya, tetap patut dihargai.
Dan Forum G20, katanya lagi, dapat jadi jalan pembuka Indonesia yang dipercaya sebagai tuan rumah dan menghasilkan investasi baru untuk pembangunan berkelanjutan. (hdl)