Surabaya (pilar.id) – Ketahanan pangan menjadi salah satu fokus pembahasan dalam debat calon wakil presiden ke-4. Dengan adanya kendala minat generasi muda terhadap profesi petani yang kurang menjanjikan, Indonesia berhadapan dengan tantangan serius terkait ketahanan pangan.
Yusuf Ernawan Drs M Hum, seorang pakar Antropologi dari Universitas Airlangga, mengungkapkan bahwa kurangnya minat generasi muda terhadap pertanian telah menjadi permasalahan sejak tahun 1830-an.
Model pendidikan modern teknis yang tidak terkait langsung dengan pertanian menjadi salah satu penyebab utama hilangnya minat tersebut.
“Ketertarikan orang desa terhadap pertanian mengalami penurunan seiring munculnya perkotaan dan model-model pendidikan modern teknis. Hal ini mengakibatkan adanya migrasi yang dapat mengancam ketahanan pangan,” ujar Yusuf Ernawan.
Meskipun telah dilakukan berbagai upaya preventif seperti KKN, pengabdian, dan sosialisasi oleh instansi pendidikan dan pemerintahan, orientasi generasi muda saat ini cenderung berbeda.
Sarjana yang tinggal di kota dan bekerja di sektor jasa menghadapi kesulitan untuk mengaplikasikan keterampilan pertanian mereka di desa.
Solusi Ketahanan Pangan
Yusuf Ernawan menyarankan solusi antropologis dengan melibatkan masyarakat kota dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan. Pemerintah dapat menciptakan program-program seperti desa budidaya, desa hijau, dan gardening house yang memanfaatkan atap rumah untuk pertanian.
“Dulu di Rungkut, pada masa Bu Risma, penduduk desa sering menanam cabai, tomat, dan kangkung di pot-pot sepanjang jalan gang. Ini dapat menjadi langkah konkrit untuk mengatasi masalah ekonomi dan ketahanan pangan,” tambahnya.
Penanaman cabai, sebagai contoh, dapat menjadi upaya penting untuk mengatasi inflasi dan kebutuhan pokok di kota. Selain itu, Surabaya telah memanfaatkan Bekas Tanah Kas Desa (BTKD) dengan melibatkan masyarakat desa dalam penanaman jagung, singkong, dan usaha pertanian lainnya.
Untuk meningkatkan efisiensi pertanian di pedesaan, Yusuf menekankan perlunya sosialisasi mengenai penggunaan teknologi pertanian, penyediaan teknologi pertanian, dan subsidi pupuk.
Model ini, seperti yang telah berhasil diterapkan di Jepang dan Australia, memungkinkan pertanian yang efisien dengan melibatkan hanya satu orang petani yang dibantu oleh teknologi pertanian canggih.
Hal ini diharapkan dapat menjadi solusi yang efektif dalam meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia. (ipl)